Kalau tagline dari Avatar adalah “semua berubah saat Negara Api menyerang”, cerita gua kali ini taglinenya adalah “semua berubah saat DBD menyerang” dan kali ini yang diserang adalah Mama gua sendiri. Kisahnya begini…
Kamis, 2 Juli 2015
Sejauh yang gua ingat, hari itu
suasana rumah masih seperti biasanya. Masih santai berleha-leha karna siang hari begitu terik. Rasa haus begitu terasa
karna puasa. Malam harinya setelah sholat Isya, Mama langsung tidur. Tumben,
pikir gua. Biasanya beliau santai-santai dulu sambil nonton tv.
Jum’at, 3 Juli 2015
Setelah rapi, bersih, dan wangi
gua siap-siap hendak pergi ke Masjid menunaikan Sholat Jum’at berjamaah.
Celingak celinguk mencari keberadaan Mama karna gua hendak pamitan mau pergi. Loh, siang hari yang begitu panas mama
malah berselimut di dalam kamar. “Mama
kenapa?”, tanya gua. Gua tempelkan tangan gua ke kening beliau. Terasa
sangat panas, ini pasti demam. Waktu itu gua menduga cuman demam biasa, jadi
gua cuman memberikan obat parasetamol saja. Berharap demam beliau segera
sembuh.
Sabtu, 4 Juli 2015
Keadaan mama gua kian bertambah
buruk. Pagi itu mama langsung dilarikan ke Puskesmas terdekat. Gua menduga ini
bukan bintang demam biasa. Pasti DBD dan ternyata setelah diperiksa
petugas paramedis memang positif DBD. Gua langsung balik pulang kerumah,
menyiapkan semua kebutuhan selama di Puskesmas nanti. Mulai dari bantal,
selimut, pakaian ganti lengkap, serta tiga botol air mineral besar yang gua
beli di dekat rumah. DBD kan harus minum banyak air putih. Hari pertama dirawat, suhu tubuh mama naik turun secara drastis.
Terkadang sangat panas, terkadang mengigil kedinginan seperti berada di kutub. Benar-benar
unpredictable, ditambah lagi dengan
mual dan mencret hebat. Puskesmas memang tidak selengkap Rumah Sakit, jadi gua
harus bolak balik ke laboratorium untuk memberikan sampel darah dan rasanya
hari itu lelah luar biasa. Ingin rasanya membatalkan puasa karna rasa haus yang
‘tak tertahankan, tapi Alhamdulillah masih kuat sampe Maghrib (hehehe…) Mama
gua itu tipe orang yang sangat rewel kalau sedang sakit, bukannya gua gag tahu
gimana rasanya kena DBD (karna waktu di Jogja dulu gua juga pernah kena DBD)
tapi mama sangat susah disuruh untuk minum air putih. Kalaupun dipaksa, pasti
muntah lagi. Hasil lab pun memberi gambaran serupa, trombosit mama turun sampe
126.000 dengan suhu 39,50C sangat membuat gua frustasi.
Minggu, 5 Juli 2015
Mama terlihat lebih baik daripada
kemarin, bahkan beliau sudah mulai ada nafsu makan. Gag rewel lagi kalau gua
suruh banyak minum, makan buah, dan minum obat. Hanya saja itu cuman bertahan
beberapa jam. Panas tinggi kembali silih berganti dengan rasa dingin yang luar
biasa. Ini bahkan berlanjut sampai malam. Gua gag bisa tidur karna harus
memantau keadaan mama. Menemani ke kamar mandi, memegangkan gelas agar beliau
bisa minum, memijit, atau sekedar mengelap keringat. Ngantuk banget, cuman gua
tahan karna dulu gua juga dijagain full 24 jam hehehe…. Berbagai macam obat
juga sudah gua berikan, mulai dari jus jambu biji, pocari sweat, sari buah
kurma, air rebusan beras merah yang langsung gua pesan dari Padang bahkan
ramuan herbal ANGKAK pun juga gag luput gua kasih. Namun tetap saja, apa yang
sudah masuk ke dalam perut pasti dimuntahkan kembali.
Senin, 6 Juli 2015
Hasil lab di hari kedua dirawat menunjukan hasil yang cukup memuaskan, trombosit
mama yang dari 126.000 naik menjadi 133.000. Meskipun begitu, rasa nyeri di ulu
hati masih tetap ada. Muntah-muntah dan mencret gag pernah berhenti. Semakin parah
saat malam hari, sedetikpun mama gag luput dari pantauan gua. Panas tinggi dan
rasa dingin yang mengigil datang silih berganti kaya kenangan mantan.
Selasa, 7 Juli 2015
Yiiipppiiiiii, suhu tubuh mama
sudah normal. Dari pagi sampai malam tidak ada perubahan drastis. Nafsu makan
mama sudah kembali, bahkan beliau sudah bisa jalan sampai ke ruang tunggu di
lorong Puskemas. Hasil lab di hari
ketiga pun menunjukkan irama serupa. Trombosit mama sudah sampai 140.000
dan terus membaik. “Besok kita bisa
pulang nih”, kata gua :))
Rabu, 8 Juli 2015
Ternyata kami cuman di PHPin.
Mama kembali drop, namun bukan karna suhu tubuh yang tinggi, muntah, atau
mencret lagi tapi karna sakit kepala yang luar biasa. Para paramedis yang
berjaga dan dokter juga terheran-heran. Normalnya pasien DBD tidak mempunyai
gejala seperti ini. Hari ini batal pulang mengingat kondisi mama yang tidak
memungkinkan. Dari pagi, sakit kepala mama semakin bertambah parah, dan ini
berlangsung sampai malam. Gua juga harus bolak-balik ke Rumah Sakit untuk
membeli obat karna obat-obatan di Puskesmas tidak begitu lengkap.
Kamis, 9 Juli 2015
Sebenarnya fase kritis dari
penyakit DBD mama sudah terlewati dan mama dinyatakan sembuh, namun gara-gara “penyakit
dadakan” sakit kepala ini dokter enggan untuk mengizinkan mama untuk pulang.
Tapi mama tetap bersikeras ingin pulang. Saat tulisan ini dibuat, mama gua
sedang beristirahat dikamar. Sakit kepalanya memang tidak sehebat hari kemarin,
cuman sepertinya suasana rumah lebih membuat nyaman dibandingkan dengan di
Puskesmas. Obat-obatan yang diberikan oleh dokter nampaknya juga sudah mulai
bereaksi dan Alhamdulillah sekarang kondisi mama gua sudah jauh lebih baik.
Mungkin memang harus banyak istirahat, karna asli kena DBD itu bikin badan
lemah selemah-lemahnya.
catatan : mungkin ada yang bertanya-tanya kenapa mama gua
dirawat di Puskesmas bukannya di Rumah Sakit. Gua dan keluarga punya alasan
tersendiri kenapa memilih di rawat di Puskesmas. Ini sebenarnya simple namun
sangat penting terutama bagi pasien. Keramahan. Yup, keramahan. Bukannya mau
menjelek-jelekan RSUD gua sendiri, hanya saja para paramedis di RSUD disini
terkenal dengan keramahannya yang rendah. Berbeda dengan di Puskesmas tempat
mama gua dirawat, paramedis disini ramah dan ucapannya sopan. Namun diluar dari
itu, sehat itu mahal memang terbukti adanya. So, tetap jaga kesehatan ya :))
Lubuk Basung, Agam
***
0 komentar:
Posting Komentar