Ada kesulitan dalam menyampaikan apa yang gua rasakan pada sekitar, bukannya tidak mempercayai atau tidak merasa nyaman namun gua gag bisa mengeluarkan kata-kata yang bisa dimengerti oleh mereka. Bukan kode yang gua utarakan, hanya saja apa yang gua pikirkan `tak sepenuhnya bisa dikeluarkan dengan baik oleh lisan.
Ketika kesulitan itu semakin menjadi-jadi, diam akan menjadi sandaran diri. Tetap hidup hari demi hari berkawankan diam. Meletakkan segala rasa dan rahasia dalam sanubari, menunggu saat yang tepat untuk muncul ke permukaan realiti.
Diam itu menenangkan, seperti obat penawar melemahkan denyut hiruk pikuk sekitar yang memekakkan. Diam menolong saat gua hendak melupakan sesuatu, hingga tersadar ada sesuatu yang jauh dalam diri yang menunggu untuk dijabarkan.
Tanpa sadar, diam menjelma menjadi jurang dalam yang memisahkan. Jurang yang tetap membuat gua merasa aman. Seiring bergulirnya waktu, jurang itu semakin melebar membuat jarak semakin kentara hingga gua gag bisa lagi untuk melewatinya. Terisolasi dari kemungkinan adanya seseorang yang bisa membawa gua pergi dari jurang ini. Seseorang yang mungkin saja bisa membuat gua bercerita, bercengkrama, membantu gua merangkai kata yang bisa dipahami. Seseorang yang mengerti akan arti dari berusaha memahami.
Meskipun sejatinya diam itu adalah ucapan. Ucapan yang hanya bisa dimengerti dengan cara yang berbeda dan oleh orang yang berharga pula. Bagaimanapun, diam adalah sifat yang selalu memiliki artian berbeda untuk setiap manusia. Namun semua akan berujung pada kata-kata yang tepat, waktu yang tepat, dan orang yang tepat. Menikmati dalam diam, menikmati sebuah proses perjalanan sebagai manusia yang menyukai malam temaram.
Rawamangun, Jakarta Timur
***
0 komentar:
Posting Komentar